Kualitas Kakao Sumut Rendah Proses, Fermentasi Jadi Persoalan

KAKAO-2

Medan | Jurnal Asia
Bertambahnya sejumlah eksportir negara konsumen, berimbas terhadap nilai ekspor kakao Indonesia. Sumatera Utara misalnya, berdasarkan Surat Keterangan Asal (SKA) Disperindag Sumut pada Januari-Maret 2014, anjlok hingga 49,6 persen menjadi USD11,652 juta, dari periode yang sama di tahun sebelumnya berkisar USD23,148 juta. Kasie Ekspor Hasil Pertanian dan Pertambangan Disperindag Sumut, Fitra Kurnia kepada Jurnal Asia mengatakan, penurunan tersebut sudah terlihat sejak pertengahan Juni 2013. Ditandai dengan dibukanya embargo kran ekspor Pantai Gading atau larangan dagang oleh Uni Eropa. Sebelumnya ekspor kakao mereka dilarang Uni Eropa, karena pemilunya dinilai tidak jujur dan adil. “Dibukanya embargo Pantai Gading, membuat biji kakao mereka sudah masuk ke pasaran. Kita kalah bersaing dengan mereka. Pasokan kakao mereka banyak. Kemudian Ghana juga sudah aktif, pascakrisis politik dalam negeri negara tersebut usai,” ungkapnya kepada Jurnal Asia, Rabu (16/4). Menurut Fitra, kakao Indonesia juga kurang diminati di Uni Erora karena tidak diproses fermentasi. Petani kakao tidak melaksanakan proses fermentasi, lantaran tidak ada perbedaan harga antara kakao yang difermentasi dengan yang tidak. “Jadi petani kakao Indonesia sudah capek melakukan fermentasi, harga jualnya tidak berbeda, rugilah mereka. Harga lokal sekarang di kisaran Rp18 ribu sampai Rp19 ribu per kilogram. Tetapi jika lokasi buahnya dekat bisa sampai Rp20 ribu per kg,” ujarnya. Ditambahkan lagi, negara tujuan ekspor kakao Sumut diantaranya, Malaysia, Amerika Serikat dan Spanyol. Adapun nilainya yakni USD3,63 Juta untuk Malaysia, kemudian USA sebesar USD3,11 juta dan Spanyol USD2,93 juta. Sementara, menurut Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin, hampir semua kakao olahan Pantai Gading dijual setelah dilakukan fermentasi terlebih dahulu. Sedangkan di Sumut sendiri, kakao yang dihasilkan banyak dijual tanpa melalui fermentasi terlebih dahulu. “Hal inti menjadi masalah karena daya saing produk kita memang lebih buruk dibandingkan negara pesaing. Sehingga perlu diperbaiki adalah kualitas petani, supaya mampu menghasilkan kakao yang difermentasi. SDM petani juga harus ditingkatkan demi menjaga kualitas kakao yang lebih berdaya saing,” katanya. Selisih harga kakao, lanjut Benjamin, dengan yang difermentasi yang tidak jauh berbeda. Memang hal tersebut bisa menjadi salah satu alasan, sehingga petani kurang tertarik memproduksi kakao fermentasi. “Ada beberapa masalah mencuat disini. Pertama karena SDM rendah, kedua selisih harga kurang menarik dan ketiga kemungkinan kesulitan kebutuhan hidup yang dialami petani kakao,” ujar Benjamin.Lantaran hal tersebut, faktor ekonomi menjadi alasan mengapa petani tidak melakukan fermentasi. Karena pada dasarnya fermentasi membutuhkan kakao yang benar-benar matang. “Kesulitan ekonomi di sini membuat petani kita menjadi lebih prematur dalam memanen kakao. Sehingga pembiayaan (kredit) di sini menjadi salah satu solusi, selain diarahkan agar petani memproduksi kakao yang telah difermentasi terlebih dahulu,” sarannya. Selain itu, perlu diperhatikan adalah rantai distribusi kakao. Jangan terlalu panjang sehingga petani dirugikan karena menjual kakao lebih murah akibat rantai dagang terlalu panjang. (Netty Guslina)

Close Ads X
Close Ads X