RI Bisa Jadi Raksasa Eksportir Perikanan

Jakarta | Jurnal Asia
Indonesia masih berpeluang besar menjadi raksasa eksportir produk perikanan seiring dengan penurunan daya saing dari negara kompetitor di Asia dan Amerika Latin, kendati prospek ekspor udang ke Jepang mulai menurun.“Kita berpeluang merajai ekspor perikanan karena suplai udang dari Tiongkok, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Meksiko terganggu virus EMS,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Thomas Darmawan di Jakarta, Minggu (20/4). Thomas mengatakan, akibat virus tersebut produksi jadi turun dan beberapa negara melarang impor udang segar dari negara-negara itu. Pada saat bersamaan, konsumsi di Tiongkok naik drastis dan pesaing Indonesia, yaitu Vietnam, sedang mengalami kesulitan modal akibat krisis kredit. “Ini adalah peluang kita,” lanjutnya. Kata Thomas, nilai ekspor perikanan RI tahun lalu menembus USD4,16 miliar, dengan konsumsi dalam negeri yang terus melesat menjadi 35,62 kg/kapita/tahun. Selain itu, Indonesia mulai menggenjot industrialisasi perikanan sebagai program utama untuk mengerek nilai tambah. Lagipula, katanya lagi, impor Tiongkok terhadap produk perikanan India dan Ekuador menurun. Masalah kenaikan UMP dan biaya produksi di Thailand juga menghambat ekspor negara tersebut. Akibatnya, Tiongkok akan terus menggenjot impor dari Indonesia. Berdasarkan data UN Comtrade, Indonesia menempati posisi ke-7 sebagai pedagang hasil perikanan terbesar dunia dengan total nilai USD3,85 miliar pada 2012. Posisi pertama ditempati Tiongkok dengan USD18,12 miliar, diikuti Norwegia (USD8,51 miliar), Thailand (USD7,34 miliar),Vietnam (USD5,96 miliar), AS (USD5,44 miliar), dan Kanada (USD4,18 miliar). Total perdagangan perikanan dunia pada 2012 adalah USD120,49 miliar. Prospek ke Jepang Merosot Prospek ekspor udang dan tuna mentah ke Jepang mulai dipertanyakan akibat semakin merosotnya tingkat konsumsi seafood di Negeri Sakura, seiring dengan pergeseran preferensi masyarakat Jepang yang beralih ke daging dan kian tingginya biaya pendaratan ke sana. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo mengungkapkan Jepang dalam beberapa tahun terakhir tidak memperlihatkan peningkatan kebutuhan pasokan ikan. Rerata konsumsi ikan di Jepang adalah 7,5 juta ton/tahun. Ekspor utama hasil laut RI ke Jepang adalah udang, tuna, dan ikan cakalang. Namun, tingginya ketergantungan Jepang pada suplai udang impor berbanding lurus dengan depresiasi yen yang melambungkan biaya pendaratan dan kenaikan harga internasional. “Semua ini mengakibatkan situasi semakin sulit. Permintaan udang mentah adalah dilema, sehingga mereka sekarang lebih memilih untuk mengimpor udang olahan. Importir Jepang juga harus bersaing dengan buyer AS, tapi yen yang lemah membuat ini sulit,” kata Herwindo, Minggu (20/4). Dampak lanjutannya adalah turunnya laju impor udang oleh Jepang, terutama untuk jenis beku mentah. Hal itu, kata Herwindo, diperburuk dengan turunnya suplai dari Thailand dan melambungnya harga akibat tingginya permintaan udang untuk penjualan supermarket. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor ikan dan produk hasil laut ke Jepang tahun lalu bernilai USD641,52 juta, turun 5,26 persen dari tahun sebelumnya. Pada Januari tahun ini penjualan produk perikanan ke sana mencapai USD44,27 juta, turun 11,13 persen dari bulan sebelumnya dan merosot 2,27 persen dari periode yang sama tahun lalu. Turunnya prospek ekspor ke Jepang juga terjadi untuk komoditas tuna, yang mana Negeri Matahari Terbit mulai kurang aktif mengimpor tuna untuk sashimi sejak semester I/2013. Namun, permintaan untuk tuna kaleng cukup banyak di pasar nonkonvensional. (BC)

Close Ads X
Close Ads X