Sawit Ekspor Wajib Bersertifikat

sawit

Jakarta | Jurnal Asia
Demi mengangkat citra buah sawit Indonesia di manca negara, kewajiban sertifikasi patut dilakukan. Hal ini seiring dengan perkembangan industri kelapa sawit yang tumbuh pesat, sehingga Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) perlu segera ditetapkan.Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi menyatakan, kebijakan yang terdapat dalam ISPO merupakan kumpulan dari regulasi-regulasi mengenai perdagangan. Di mana, setiap kegiatan ekspor sawit harus ada sertifikatnya. “Tapi sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan setiap ekspor besertifikat ISPO, karena ini masih tahap awal. Kita dorong terus, tapi belum diwajibkan,” kata Bayu di Jakarta, Senin (21/4). Bayu mengungkapkan, penerapan sertifikasi ini terus mengalami perkembangan, dimana daerah tujuan ekspor tidak hanya meminta sertifikasi terhadap produk sawit Indonesia, melainkan juga terhadap produk kopi dan kakao. Namun, dia mengaku masih belum mengetahui kapan waktu yang pasti mengenai penerapan kewajiban sertifikasi. “Secepatnya kita wajibkan, praktiknya sudah, tinggal sertifikasi saja,” tambahnya.Untuk itu, dengan penerapan sertifikasi ini, Bayu berharap dapat menyelesaikan permasalahanpermasalahan yang terdapat pada produk-produk Indonesia di dalam negeri dan juga perlindungan produk ketika melakukan kegiatan ekspor. “Mereka inilah yang menjadi kepentingan kita. Kita juga mengalami masalah yang sama seperti di Kopi, Kakao, ISPO itu regulasi yang harus diterapkan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri,” pungkasnya. Ekspor Meningkat Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat volume ekspor sawit mentah (CPO) dan turunannya asal Indonesia pada Maret 2014 meningkat sebesar 13% dari 1,58 juta ton menjadi 1,79 juta ton dibandingkan bulan Februari. Kenaikan volume ekspor ini selain karena harga kedelai yang tinggi, juga disebabkan stok CPO Indonesia dan Malaysia yang sudah berkurang dan spekulasi El Nino yang mempengaruhi pasar juga masih terus berkembang. Kenaikan harga rata-rata kedelai sejak bulan Februari, telah membuat beberapa importir minyak nabati mulai melirik minyak sawit sebagai minyak substitusi (pengganti). Harga kedelai Februari tercatat naik 5% dari US$ 831,35 per bushel pada Januari 2013 menjadi US$ 876,66 per bushel pada Februari 2013, kenaikan harga rata-rata terus berlanjut sampai pada Maret sebesar 6,3% atau US$ 925,54 per bushel. Gapki mencatat kenaikan permintaan akan CPO yang tercatat sangat signifikan datang dari negara Afrika dan Pakistan meskipun dari sisi volume tidak sebanyak permintaan dari India, China dan Uni Eropa. Ekspor CPO Indonesia dan turunannya ke Pakistan tercatat meningkat dari 58,7 ribu ton pada Februari menjadi 174 ribu ton pada Maret (197%) sedangkan ekspor ke negara-negara Afrika tercatat meningkat sebesar 59% dari 79 ribu ton pada Februari menjadi 125,5 ribu ton di bulan Maret. Kenaikan permintaan di Pakistan karena negara yang mayoritas merupakan muslim ini mulai meningkatkan stock CPO di dalam negeri untuk menyambut hari puasa dan hari raya Idul Fitri pada bulan Juni. Di India, volume ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia tercatat meningkat sebesar 31% dari 313 ribu ton di bulan Februari menjadi sebesar 412 ribu ton di bulan Maret. Ekspor CPO dan turunannya asal Indonesia ke China tidak mengalami kenaikan yang signifikan, ekspor tercatat naik 11% dari 254 ribu ton pada Februari menjadi 281ribu ton di Maret. Ekspor ke China memang kurang bergairah karena memang pada saat ini China mengurangi pembelian minyak nabati akibat dari perlambatan ekonomi yang mengakibatkan para importir kesulitan untuk mendapatkan kredit. Dari sisi harga, harga rata-rata CPO pada Maret 2014 bergerak di kisaran US$ 953 – US$ 1.000 per metrik ton dengan harga rata-rata US$ 961 per metrik ton. Harga rata-rata ini naik sekitar 6% dibandingkan dengan harga rata-rata bulan Februari US$ 903 per metrik ton. Kenaikan harga CPO ini disebabkan adanya spekulasi cuaca (El Nino), banyaknya permintaan akibat dari harga kedelai yang melambung dan stok CPO Indonesia dan Malaysia yang mulai berkurang. Terkendala Petani Kecil Usaha kelapa sawit Indonesia sudah memiliki induk regulasi sertifikasi ramah lingkungan yang disebut Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), meski hingga saat ini implementasinya masih minim. Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi menjelaskan, ISPO merupakan unggulan-unggulan dari regulasi Indonesia, mulai dari masalah pertanahan, masalah pertanian, dan regulasi terkait. “Kita sekarang udah menetapkan ISPO berdasarkan keputusan Mentan sebagai sistem yang harus dianut oleh semua perusahaan Indonesia,” kata Bayu. Namun, Bayu mengakui, pemerintah sampai dengan saat ini belum mengeluarkan kebijakan untuk mengharuskan setiap ekspor crude palm oil (CPO) bersertifikat ISPO. Alasannya, regulasi ISPO masih dalam tahap awal. Di sisi lain masih ada tantangan terbesar implementasi ISPO, yakni small holders atau petani kecil. “Petani kecil kita itu ada 42 persen kira-kira dari total produksi sawit, maka itulah yang menjadi perhatian kita untuk bsia mendapatkan sertifikat. Kalau yang besar itu relatif mudah,” tuturnya. Ditanya kapan aturan ISPO bersifat mandatori, Bayu menegaskan, secepatnya jika petani kecil sudah bisa memenuhi seluruh prasyarat ISPO. Agar terjadi akselerasi, maka pemerintah pun mengupayakan fasilitas sertifikasi ISPO. “Dan kalau menurut saya sekarang ini tinggal komunikasinya. Praktik berkebunnya saja sudah ramah lingkungan, sebagian sudah. Tinggal setifikasinya saja. Contohnya di Sumatera Selatan itu kemarin kita memberikan sertifikasi. 12.000 petani mendapatkan sertifikat sustainable CPO,” pungkasnya. (bc/kcm)

Close Ads X
Close Ads X