Penerapan SVLK Belum Berimbang

Jakarta | Jurnal Asia
Pelaku industri kertas mendesak pemerintah untuk bersikap adil dalam implementasi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), sehingga produk kertas yang masuk ke Indonesia pun terstandar seperti halnya produk berbasis kayu Indonesia yang diekspor.
Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Rusli Tan, mengatakan tuntutan sertifikasi SVLK bagi kertas buatan RI belum cukup untuk mengatrol daya saing produk nasional dengan kertas impor.
“Kami mau ekspor harus pakai SVLK, tapi produk yang impor tidak harus pakai SVLK. Kami diharuskan memenuhi banyak sertifikasi kalau mau ekspor, tapi produk asing masuk ke sini syaratnya mudah,” kata Rsuli Tan, Selasa (22/7).
Beberapa perusahaan juga merasa diberatkan dengan tuntutan untuk mengantongi sertifikat SVLK. Padahal, sebelumnya mereka juga dituntut untuk mengurus sertifikat lain seperti Forest Stewardship Council (FSC) bila ingin memasuki pasar asing.
Hal tersebut, menurut pendapat Rusli, merefleksikan kurangnya proteksi pemerintah terhadap industri dalam negeri. Apalagi, baru-baru ini industri kertas diterjang kasus serbuan barang impor yang menekan kinerja mereka selama beberapa tahun terakhir.
Menanggapi hal tersebut Wamen Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, menjelaskan yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah memberikan pemahaman di dalam negeri dengan mempromosikan nilai positif SVLK sesuai dengan apa yang dibutuhkan industri.
Dia menegaskan, pengusaha hanya cukup mengantongi SVLK saja untuk dapat diterima secara standar. Mereka seharusnya tidak perlu direpotkan untuk mengurus sertifikasi lain, sebagaimana sering dikeluhkan beberapa pelaku usaha.
“Saya tidak tahu apakah di FSC itu ada indikator kualitasnya. Kalau di SVLK ada legalitas dan keberlanjutan. Kalau di FSC mungkin ada indikator kualitasnya. Kami akan pelajari lebih lanjut apakah dipersyaratkan karena memang ada indikator itu, bukan yang lain.”
Hingga saat ini, kata Bayu, otoritas perdagangan masih mempelajari detail teknis dari SFC. Dari telaah tersebut, akan dipertimbangkan lebih lanjut apakah sertifikasi tersebut dapat dikonvergensikan dengan SVLK atau tidak. “Teknisnya bagaimana, saya belum tahu.”
Bayu mengaku upaya penerapan SVLK pada produk hasil kehutanan yang diimpor masih menghadapi jalan terjal dan diskusi yang alot. Permasalahannya, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menggunakan sertifikat SVLK.
“Terus terang ini agak alot pembahasannya. Kendala paling utama, di dunia ini belum banyak atau bahkan belum ada yang menggunakan sertifikasi serupa SVLK. Jadi, kalau kita menuntut penerapan kriteria SVLK, justru nanti kita akan kesulitan sendiri. Jadi, ini sedang dicari titik temunya, seperti apa yang untuk impor itu,” ungkap Bayu.
Kemendag menargetkan pertumbuhan ekspor produk kehutanan pada level 5,5%-6,5% atau setara US$9,4 miliar-US$9,5 milliar pada 2014-2015. Ekspor kayu dan produk kayu RI bertumbuh 10,97% selama 2009-2013. (bc)

Close Ads X
Close Ads X