Terancam Bangkrut, Ekspor Karet Terus Melorot

Volume ekspor karet Sumatera Utara hingga Juli 2014 turun hampir 10 persen sebagai dampak permintaan yang melemah, kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumut Edy Irwansyah.
“Tepatnya, volume ekspor karet turun 9,64 persen dibandingkan periode yang sama 2013,” kata Edy Irwansyah di Medan, Jumat (22/8).
Kalau pada tahun lalu, eksspor masih sebanyak 299.261,48 ton, pada Januari-Juli 2014 tinggal 270.425,66 atau berkurang 28.835,83 ton (9.64 persen).
“Diduga hingga akhir tahun volume ekspor karet Sumut terus turun karena pada semester sudah menurun sebesar 27,38 persen, “katanya.
Penurunan volume ekspor dampak melemahnya permintaan.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Wien Kusdiatmono mengakui, hingga semester I, devisa Sumut dari ekspor karet dan barang karet turun 27,38 persen dari periode sama tahun lalu.
Tahun ini, devisa tinggal 814,544 juta dolar AS dari periode sama tahun lalu yang sudah 1,121 miliar dolar AS.
Penurunan nilai ekspor golongan barang itu dampak melemahnya harga jual dan penurunan volume ekspor dampak krisis global.
Terancam Bangkrut Karena PPN
Pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) karet sejak 22 Juli 2014 mengancam kebangkrutan atau kerugian besar pabrik serta menambah kesengsaraan petani komoditas itu, kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah “Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah penting atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang memutuskan komoditas primer karet menjadi BKP (barang kena pajak) yang dikenain PPN 10 persen,” kata Edy Irwansyah di Medan.
Pengenaan PPN 10 persen itu terjadi setelah MA mengabulkan permohonan uji materi dari pemohon yakni Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
Pemerintah dinilai Edy penting mengambil langkah atas putusan MA itu karena pengenaan PPN 10 persen itu merugikan perusahaan karet khususnya pabrikan kecil dan petani.
Dia menjelaskan, secara teori, PPN 10 persen itu memang tidak hilang karena ada kebijakan restitusi.
Namun karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan restitusi tersebut atau bisa mencapai 12 bulan, maka modal kerja yang digunakan untuk membayar PPN tertahan sehingga sangat berpotensi mengakibatkan pabrik berhenti beroperasi.
Kekurangan modal akibat uang tertahan itu akan semakin berat dirasakan karena pengusaha juga berhadapan dengan besarnya bunga pinjaman bank yang dewasa ini sekitar 13 persen.
“Jadi memang harus ada langkah Pemerintah menyikapi pengenaan PPN 10 persen, apalagi saat sedang terjadi harga ekspor yang anjlok,”katanya.
Harga ekspor yang anjlok tentunya langsung ikut menekan harga jual bahan olah karet (bokar) di tingkat petani.
Ditambah adanya beban petani juga atas pengenaan PPN iru, tentunya harga bahan baku tersebut semakin tertekan.
Padahal 85 persen produksi karet nasional dihasilkan dari hasil perkebunan rakyat.
“Harusnya petani mendapat insentif atau dukungan pendanaan. Apalagi hingga dewasa ini sebagian besar tanaman berusia tua dan jeleknya infrastruktur jalan di kawasan perkebunan karet tersebut,”katanya.
Dewasa ini saja, dengan turunnya harga, beberapa perkebunan sudah merugi karena ongkos produksinya lebih mahal dibandingkan harga jual.
(ant/netty guslina)

Close Ads X
Close Ads X