Dolar Menguat, Garuda Merugi

Jakarta | Jurnal Asia
Kinerja PT Garuda Indonesia Airlines Tbk (GIAA) sangat bergantung kepada pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Setiap ada kenaikan dolar AS Rp100 saja, maka itu jadi kerugian sebesar US$ 12 juta (Rp120 miliar) bagi maskapai plat merah tersebut. Garuda Indonesia membukukan kerugian sebesar US$ 211,7 juta sepanjang semester I-2014. Penurunan kinerja tersebut dipicu oleh pelemahan kurs rupiah terhadap dollar yang mencapai 20%.
Melemahnya mata uang lokal berpengaruh pada meningkatnya biaya operasional perusahaan. Pasalnya, hampir 75% pembiayaan perusahaan berasal dari mata uang dolar AS, sedangkan pendapatannya menggunakan nilai tukar rupiah.
Direktur Keuangan Garuda, Handrito Hardjono, mengatakan sebagian laba per­seroan juga berkurang jika nilai nilai tukar rupiah terdepresiasi. Setiap terjadi depresiasi Rupiah sebesar Rp100, Garuda akan mengalami kerugian sebesar US$ 12 juta.
Selain itu, penurunan kinerja Garuda Indonesia juga dipengaruhi harga avtur domestik yang rata-rata lebih tinggi 12% dari harga avtur internasional (Singapura, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Hong Kong). Padahal biaya avtur merupakan komposisi ter­besar dari biaya operasional yang harus di­tanggung perusahaan, yaitu mencapai 40%.
Di samping itu, kerugian yang dialami perusahaan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi makro seperti pelemahan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan harga bahan bakar, serta pertumbuhan infrastruktur nasional yang tidak mampu mengikuti pertumbuhan kapasitas industri penerbangan sehingga menimbulkan inefisiensi operasional penerbangan.
Kondisi industri penerbangan Asia Pasifik mengalami tekanan meskipun sektor tersebut memiliki pertumbuhan penumpang paling pesat di dunia. Maskapai-maskapai di kawasan Asia Pasifik dilaporkan mengalami kecenderungan penurunan tren keuntungan sepanjang tiga tahun terakhir.
Hal ini disebabkan tidak hanya oleh pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia dan kenaikan harga bahan bakar, tetapi juga oleh ketatnya persaingan pasar penerbangan Asia Pasifik.
Data Asosiasi Maskapai Asia Pasifik (Association of Asia Pacific Airlines/AAPA) mengungkapkan, sebanyak 75% dari rute di kawasan tersebut dilewati sedikitnya oleh tiga maskapai dan 27% jalur penerbangannya dilintasi sedikitnya lima maskapai.
“Kami melihat kapasitas yang sangat banyak. Ini tentu saja menunjukkan persaingan bisnis yang sangat kompetitif dan tentu akan berpengaruh pada keuntungan maskapai-maskapai di Asia baik secara global maupun dalam kesempatan tertentu,” kata Kepala Riset Transportasi Asia Pasifik di Credit Suisse, Timothy Ross, Senin (1/9).
Kondisi inilah yang mendorong terjadinya penurunan permintaan untuk rute-rute internasional serta penurunan kinerja sejumlah maskapai internasional. Maskapai penerbangan Qantas Airways baru-baru ini melansir angka kerugian sebesar AU$ 2,8 miliar atau setara dengan Rp30 triliun pada akhir bulan Juni 2014, yang merupakan kerugian terbesar perusahaan tersebut.
CEO Qantas, Alan Joyce, mengatakan lemahnya permintaan domestik, kurangnya belanja konsumen, dan meningkatnya harga bahan bakar sebagai penyebab kerugian perusahaan. Selama berbulan-bulan Qantas mengaku menghadapi persaingan ketat baik di pasar internasional maupun domestik.
Kondisi yang sama juga dialami perusahaan penerbangan Thai Airways yang mencatat kerugian bersih sebesar US$ 236 juta selama kuartal kedua 2014. Penurunan kinerja maskapai tersebut disebabkan belum kondusifnya situasi politik di Thailand, semakin tingginya persaingan di industri penerbangan, terutama oleh maskapai penerbangan murah, serta penurunan market share di rute Australia-Thailand akibat ketatnya kompetisi dengan maskapai-maskapai internasional lain yang menawarkan layanan one-stop products.
Selain itu, maskapai penerbangan Singapore Airlines sepanjang periode Maret-Juni 2014 mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 71,42% menjadi US$ 28 juta. Penurunan laba bersih disebabkan oleh ketatnya kompetisi, terutama oleh maskapai penerbangan murah serta ekspansifnya maskapai penerbangan Timur Tengah.
Di sisi lain, penyebab merosotnya laba bersih perseroan adalah kerugian yang dicatatkan oleh entitas bisnis yang masih terafiliasi, yaitu Tiger Airways Holdings Ltd. Tragedi yang dialami oleh Malaysia Airlines dan krisis politik di Thailand juga ikut berkontribusi terhadap kinerja keuangan Singapore Airlines pada periode tersebut, lantaran berkurangnya wisatawan yang berkunjung ke Asia Tenggara.
Sebelumnya, pada kuartal I tahun 2014, Singapore Airline juga tercatat mengalami kerugian operasional sebesar US$ 48,2 juta. Pada 28 Agustus 2014 lalu, maskapai penerbangan Malaysia Airlines melaporkan kerugian yang dialami perusahaan sepanjang semester I tahun ini yang mencapai RM 307 juta atau setara dengan US$ 95 juta.
Kondisi keuangan Malaysia Airlines terus merugi sejak tiga tahun terakhir akibat sangat kompetitifnya pasar penerbangan di wilayah Asia Tenggara, serta insiden hilangnya MH370 dan ditembaknya MH17. Akibat kondisi tersebut, pemerintah Malaysia melalui Khazanah Nasional berencana mengucurkan dana senilai RM 6 miliar atau setara Rp20 triliun untuk penyelamatan keuangan Malaysia Airlines.
Tantangan yang sama juga dihadapi oleh beberapa maskapai penerbangan berbiaya murah. Anak perusahaan Qantas di segmen Low Cost Carrier (LCC), Jetstar, mencatat kerugian untuk pertama kalinya dalam sejarah berdirinya maskapai tersebut selama 10 tahun terakhir.
Selain itu, maskapai penerbangan AirAsia saat ini disebut-sebut tengah meng­hadapi periode terberat sepanjang se­jarah 13 tahun berdirinya. Meskipun secara grup perusahaan mencatat ke­untungan sepanjang kuartal kedua tahun ini, tetapi sejumlah maskapai afiliasinya di Thailand, Indonesia, dan Filipina mengalami kerugian akibat melemahnya mata uang lokal, iklim geopolitik, dan fluktuasi harga bahan bakar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Hu­bungan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murjatmodjo mengungkapkan, in­dustri penerbangan mengalami masa sulit dalam meningkatkan jumlah penumpang sejak 2013 akibat kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat turun drastis.
Pertumbuhan industri penerbangan pada tahun lalu dianggap cukup kecil karena hanya mampu naik sebesar 5%, padahal pertumbuhan pada tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai 15%. Rendahnya pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tertekan, dan harga bahan bakar pesawat yang mahal dinilai menjadi penyebab lesunya pertumbuhan industri penerbangan pada tahun 2013. (dc)

Close Ads X
Close Ads X