Presiden Bisa Pecat Kepala Daerah, Bolos Seminggu Dicopot

Jakarta | Jurnal Asia
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden. Pada kesempatan itu, SBY menyatakan akan memperkuat peran pemerintah pusat dalam menangani kepala daerah lewat UU Pemda. Dia menginginkan UU Pemda memungkinkan seorang presiden memecat kepala daerah.
“Mengapa kita perlu memiliki UU Pemda yang tepat? fakta dan realitas mengenai sistem pemerintahan termasuk pemda yang berlaku hingga hari ini adalah kita menganut sistem negara kesatuan dan bukan sistem negara federal. Kita tidak sadari bahwa ada yang kita tidak sadari bahwa ada distorsi adanya semangat kesatuan,” terang SBY di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (17/9).
Saat ini, kata dia, banyak sekali kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Oleh karena itu diperlukan RUU Pemda. “Kita sering mendengar di media masa sejumlah kepala daerah memiliki kinerja yang buruk, memiliki disiplin dan perilaku tidak baik. Nah belum ada aturan yang tegas dan jelas untuk mengatasi permasalahan itu,” bebernya.
SBY mengaku sering mencabut penghargaan yang telah di­berikan kepada kepala daerah yang berkinerja buruk. “Saya sering menghentikan penghargaan bagi gubernur, bupati dan wali kota. Tetapi jika ada yang berkinerja buruk, kewenangan presiden tidak ada. Saya bisa memberhentikan gubernur dan wali kota jika ditetapkan sebagai terdakwa,” tegasnya.
Oleh karena itu, UU Pemda yang nanti akan disahkan DPR harus mengatur kebijakan penghargaan bagi pejabat daerah yang berprestasi dan hukuman untuk yang tersangkut korupsi.
“Apa harus menunggu menjadi terdakwa kalau saya harus memberhentikannya? Padahal kinerjanya buruk, pembangunan tidak ada. Bagaimana pembangunan berjalan bagi masa depan rakyat kita? Itulah yang kita lihat dalam sistem pemerintahan daerah. Reward dan punishment harus berjalan dengan seimbang,” tuntasnya.
Direktur Jenderal otonomi Daerah (Dirjen Otda), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Djohermansyah Djohan mengatakan, revisi Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ditujukan untuk menata kembali hubungan pemerintah pusat dengan daerah.
Sepuluh tahun belakangan, menurut Djohermansyah, seperti ada link yang putus antara pemerintah pusat dengan daerah. Akibatnya, kepala daerah jadi raja-raja kecil.
“Karena merasa jadi raja-raja kecil, kepala daerah meninggalkan daerah sesukanya, kabur saja tanpa ada sanksi,” kata Djohermansyah, di Gedung DPD, Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (17/9).
Melalui revisi RUU Pemda ini, pemerintah kata Dirjen Otda, ingin membangun hirarki dengan cara menempelkan beberapa kewenangan kepada gubernur. “Dengan begitu, kabupaten dan kota memiliki hirarki yang jelas dengan provinsi,” ungkapnya.
Kewenangan yang akan dilekatkan kepada gubernur, antara lain memberikan kewenangan kepada gubernur memberikan sanksi kepada bupati atau walikota. “Dalam RUU tersebut, dicantumkan, seminggu berturut-turut bupati atau walikota meninggalkan daerah, yang bersangkutan diberhentikan oleh gubernur meski bupati atau walikota bersangkutan dipilih oleh rakyat,” tegas mantan Deputy Setwapres bidang politik dan pemerintah itu.
Termasuk penggunaan anggaran daerah yang dipakai oleh bupati atau walikota yang mengangkat anak atau saudaranya sebagai staf khusus. “Kalau bupati atau wali kota angkat pegawai tanpa sepengetahuan atasannya, juga ada ancaman pidananya 1 tahun. Termasuk jika ada penugasan pemerintah pusat kepada daerah dan tidak dilaksanakan oleh kepala daerah, juga ada sanksinya,” pungkas Profesor Djo.
Ditegaskannya, RUU Pemda jangan hanya dipahami secara politis. “Jangan hanya ribut soal politis saja, RUU ini juga meengatur tanggung jawab kepala daerah, kewenangan dan sanksi jika melanggar ketentuan,” tegasnya.
Terakhir diingatkannya prinsip revisi RUU Pemda menata kembali agar bangsa ini tidak lari dari prinsip NKRI. “Hubungan pusat dan daerah, ditata dengan cara tidak melanggar hukum,” pungkasnya. (jpnn/ant/oz)

Close Ads X
Close Ads X