RPP Gambut Potensi Matikan Industri Kehutanan

Jakarta | Jurnal Asia
Rancangan Peraturan Pemerin­tah tentang Perlindung­an dan Pengelolaan Gambut (RPP Gambut) yang siap disahkan menjadi Peraturan Pemerintah dinilai sangat berpotensi mematikan industri kehutanan dari hulu hingga hilir.
“Pemberlakuan RPP gambut akan mematikan HTI gambut yang berdampak buruk bagi perkenonomian, sosial dan lingkungan,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang HTI, Nana Suparna, pada dialog kehutanan “RPP Gambut: Quo Vadis Pengelolaan Ekosistem Gambut” di Jakarta, Jumat (19/9).
Menurut Nana, potensi kerugian yang ditimbulkan oleh pemberlakukan peraturan tersebut sangat besar mencapai Rp103 triliun per daur tanam.
Kematian pun juga mengancam industri hilir pengguna bahan baku kayu HTI, tambahnya, yang akhirnya akan memunculkan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap tenaga kerja di sektor kehutanan.
Dia mengungkapkan, beberapa ketentuan yang kontraproduktif dalam RPP Gambut adalah penetapan kawasan lindung seluas 30 persen dari seluruh kesatuan hidrologis gambut.
Selain itu, gambut juga ditetapkan berfungsi lindung jika memiliki ketebalan lebih dari 3 meter.
Yang paling berat, tambahnya, adalah ketentuan yang menyatakan bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 40 sentimeter, atau bakal dinyatakan rusak.
“Padahal akar pohon bisa tumbuh lebih dari 100 sentime­ter. Kalau akar terendam, tentu pohon akan mati,” katanya.
Nana menyebutkan, saat ini HTI yang terhenti operasional­nya karena berbagai kendala ekonomi seperti konflik lahan, regulasi tumpang tindih termasuk pungutan dan iuran, sudah puluhan unit.
Ia memprediksi dengan berlakunya RPP gambut, HTI yang aktif akan berkurang lagi menjadi 27 persen dari 45 persen yang kini aktif, karena 60 persen dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut.
Selain itu, menurut dia, ada kerugian dari devisa yang hilang bersumber dari pendapatan pulp dan kertas sebesar 5,4 miliar dolar AS per tahun dari total produksi 16,8 juta ton, yang selama ini memanfaatkan bahan baku dari HTI.
“Akan terjadi PHK besar-besar­an, sekitar 300.000 tenaga kerja langsung di sektor ini,” katanya.
Menurut dia, jika kondisi itu tak diantisipasi maka bisa dipastikan bakal mengganggu pertumbuhan ekonomi, perkembangan wilayah, lingkungan, dan sosial juga menjadi negatif.
Nana sendiri mengaku kecewa karena APHI yang merupakan salah satu stakeholders pengelolaan gambut justru diabaikan dalam pembahasan RPP Gambut.
Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Rusli Tan, menyatakan saat ini sejumlah industri kertas sudah mati akibat ketiadaan bahan baku, antara lain Leces, Basuki Rahmat, dan Kertas Kraft Aceh.
“Industri kertas lainnya akan menyusul jika pasokan bahan baku dari lahan gambut berhenti,” katanya.
Menurut dia, pemerintah seharusnya melindungi industri strategis seperti pulp dan kertas dengan memberikan regulasi yang mendukung.
“Jangan malah mengikuti kampanye yang dilancarkan oleh LSM asing yang tidak ingin kita berkembang,” katanya.(ant)

Close Ads X
Close Ads X