Bank Berbasis Sosial

Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintahan baru diharapkan membentuk bank berbasis sosial yang mengemban fungsi sebagai agen pembangunan dan tidak sekadar mencari keuntungan.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Eko­no­mi Stra­tegis (Akses) Suroto mengata­kan pemerintah sudah saatnya memikirkan model dan skema bank sosial. “Rakyat mem­butuhkan bank sebagai agen pem­bangunan atau bank sosial sebagai terjemahan demokrasi ekonomi yang diatur dalam konstitusi,” ujarnya, Se­lasa (30/9).
Ia menyesalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan yang akhir-akhir ini diperdebatkan ternyata belum mampu mengakomodasikan fungsi bank yang seharusnya.
Perdebatan yang ada, menurutnya, hanya seputar perlunya pembatasan kepemilikan bank asing dan belum kepada masalah substansial filosofisnya.
Sistem perbankan nasional menganut dual system yakni perbankan syariah dan konvensional, dinilai melenceng jauh dari konstitusi.
Bank tersebut juga dinilai jauh dari fungsi sebagai agen pembangunan. Suroto berpendapat perbankan selama ini hanya berfungsi untuk mengejar keuntungan semata tanpa ada keberpihakan khusus kepada rakyat kecil.
“Ini harusnya juga diatur dalam UU Perbankan baik yang konvensional maupun syariah dan indikatornya juga harus dituangkan dan harus jadi bagian penting dari alat pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” katanya.
Akses mencatat saat ini aset bank telah mencapai Rp4.000 triliun dan Bank Syariah sendiri telah mencapai Rp300 triliun.
Sementara, pertumbuhan asetnya perbankan mencapai 17% per tahun untuk bank konvensional dan sekitar 34% untuk bank syariah.
“Ini sebetulnya aset yang besar yang dapat diberdayakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus pemerataannya kalau dikelola dengan benar dan dilandaskan pada aturan konstitusi kita,” katanya.
Ia menegaskan pemerintah harus segera merevisi RUU Perbankan agar bisa mengakomodir fungsi bank sebagai agen pembangunan seperti membentuk Bank Pertanian.
(bsc)

Close Ads X
Close Ads X