Melirik Pentingnya Penanggalan Lunar, Tradisi Leluhur Lekat Saat Merintis Usaha

Ternyata ada semacam aturan main (rule of the games), tatkala mem­buka usa­ha dilangsungkan oleh masyarakat suku Tionghoa yang masih men­junjung tradisi para leluhur. Tradisi sudah berabad-abad itu, hingga kini masih bertahan. Salah satunya adalah ketika merintis bidang usaha, kerap mengandalkan penanggalan lunar.
“Tidak boleh sembarangan dalam mem­buka usaha. Harus ditentukan ter­lebih dahulu hari, tanggal, bulan, dan ta­­hun menurut sistem penanggalan lunar,” ungkap Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Kota Medan Loe Cin An yang juga merupakan salah seorang pemerhati tradisi Tionghoa.
Penentuan awal memulai buka usaha, dikatakan pria berpostur tinggi ramping ini, harus terlebih dahulu dengan membuka lembaran Thongsu. Thongsu yakni sejenis primbon, yang sudah berabad-abad diper­gunakan para leluhur di daratan Tiongkok.
Dari menyesuaikan dengan lembaran Thongsu tersebut, sehingga adakalanya da­pat diketahui, mengenai jadwal yang te­lah dipilih, apakah menandakan Chiong atau tidak. Kalau ternyata didapati Chiong, diperkirakan jadwal telah di­pilih keliru. Konsekwensi dari Chiong ini, kemungkinan usaha akan dimulai ter­sebut sangat rentan menemui kendala.
“Chiong berarti berbenturan. Supaya tidak Chiong, makanya perlu disesuaikan an­tara shio seseorang yang akan mem­buka usaha dengan penentuan jadwal saat pertama usaha dibuka,” jelas usahawan bergerak di bidang peleburan logam yang kesehariannya akrab dengan sapaan Halim Loe ini.
Namun tidak semua masyarakat Tiong­hoa masih menjunjung tradisi ini menguasai Thongsu. Untuk mengatasi hal tersebut, solusi dapat ditempuh de­ngan mendatangkan Thongsu-Pek.
“Thongsu-Pek inilah yang banyak me­mahami Thongsu, dan sangat sering Thong­su-Pek dimintai pendapat dalam mengawali usaha,” ungkap Halim Loe lebih jelas.
Biasanya terdapat beberapa tanggal dalam sistem penanggalan lunar, yang harus dielakkan saat membuka usaha. Se­jumlah tanggal kurang baik dalam penentuan hari pertama membuka usaha tersebut, biasanya disebut dengan Suak Jit.
“Suak Jit terdiri dari hari pada tanggal 3, 7, 13, 18, 22, dan 27 menurut sistem penanggalan lunar,” urai Halim.
Dalam penentuan jadwal mulai membuka usaha tersebut, dikatakan Ha­lim, rentangan waktu pada hari yang telah ditentukan juga masih harus di­perhatikan. Sangat dianjurkan memilih awal membuka usaha pada pagi hari an­tara pukul tujuh sampai dengan pukul sebelas.
Ritual
Selepas jadwal telah dapat ditentukan, ta­hapan berikutnya dengan mengadakan ritual persembahan bagi Dewa Bumi (Te Cu Kong), dan juga Raja Langit (Thi Kong). Biasanya persembahan untuk De­wa Bumi dengan lima du­­pa, lima Huat kue, lima teko teh, kertas peribadatan, sepasang lilin, dan buah-buahan. Biasanya buah jeruk yang me­lambangkan kiet (bersatu) yang do­minan dipergunakan.
(Bersambung ke halaman 11)
Persembahan untuk menghormati Dewa Bumi (Te Cu Kong) maupun Raja Langit (Cu Kong) dengan persembahan Be Lo Kong. Be Lo Kong biasanya dengan menyediakan tiga dupa, tiga Huat Kue, tiga teko teh, sepasang lilin, kertas peribadatan, sepasang lilin, dan buah-buahan.
Sesuai tradisi, Be Lo Kong tidak hanya diadakan pada hari pertama membuka usaha, biasanya juga sangat sering dikerjakan pada penghujung bulan penanggalan lunar setiap bulannya. Yakni pada tanggal 29 maupun tanggal 30 sesuai penanggalan lunar.
Ritual penghormatan terhadap Dewa Bumi (Te Cu Kong) maupun Raja Langit (Cu Kong) biasanya dengan dipimpin suhu, bante, maupun pandita. Usai pelaksanaan ritual, barulah dapat digelar prosesi pengguntingan pita menandaikan mulai membuka usaha.
“Biasanya barongsai sering ditampilkan pada hari perdana memulai usaha, menghadirkan barongsai pun, biasanya lebih dominan untuk usaha berskala besar,” pungkas Halim. (*)

Close Ads X
Close Ads X