Pasca Diajukan SBY, Perppu Coba Ganjal UU Pilkada

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri Rapat Koordinasi Partai Demokrat di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (30/9).
Jakarta | Jurnal Asia
Presiden SBY akan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) RUU Pilkada dan mengajukannya ke DPR. Hal ini dimaksud untuk mengganjal UU Pilkada. Sayang banyak pihak menganggap hal tersebut sia-sia. SBY juga menegaskan bahwa posisi Partai Demokrat sama persis dengan pemerintah, yakni Pilkada langsung dengan 10 perbaikan. “Kalau DPR sungguh-sungguh mendengarkan aspirasi mestinya sistem Pilkada langsung dengan banyak perbaikan yang akan kita anut. Mohon doa restu dari rakyat,” jelas SBY usai memberi pembekalan di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (30/9).
SBY menyampaikan, dirinya mengambil kebijakan Perpu setelah mempertimbangkan berbagai hal. SBY menegaskan komitmennya mendukung Pilkada langsung.
“Ini politik, saya ambil risiko dan saya akan ajukan Perpu, tapi objektifitas itu tetap ada pada DPR. Saya sudah siapkan Perpu yang intinya, Perpu ini saya ajukan ke DPR setelah, katakanlah, hari ini atau besok draf RUU hasil sidang kemarin saya terima, maka aturan main harus saya tanda tangani,” kata SBY.
Setelah menandatangani UU Pilkada, SBY kemudian akan menerbitkan Perpu yang membatalkan UU itu. Lalu selanjutnya pembahasan Perpu itu akan diserahkan ke DPR.
(Bersambung ke halaman 11)
“Saya akan ajukan Perpu, tapi objektifitas itu tetap ada pada DPR. Kalau DPR sungguh-sungguh mendengarkan aspirasi rakyat, mestinya pilkada langsung dengan perbaikan yang akan kita anut,” ujar SBY yang didampingi pengurus PD termasuk Ibu Ani. Semuanya mengenakan baju warna biru.
Dengan keputusan ini, berarti SBY tak melaksanakan saran ahli tata negara Yusril Ihza Mahendra. Sebelumnya, dalam pertemuan dengan SBY di Jepang, Yusril menyarankan agar UU Pilkada tak usah ditandatangani.
“Saran saya SBY tidak usah tanda tangani dan undangkan RUU tersebut sampai jabatannya habis. Tenggang waktu 30 hari menurut pasal tersebut adalah tanggal 23 Oktober. Saat itu jabatan SBY sudah berakhir,” kata Yusril melalui akun twitternya, Senin (29/9).
Selain itu, Yusril juga menyarankan agar presiden terpilih, Joko Widodo, juga tidak menandatangani UU itu. Bahkan, Jokowi juga bisa mengembalikan UU itu ke DPR.
“Sementara Presiden baru yang menjabat mulai 20 Oktober juga tidak perlu tandatangani dan undangkan RUU tersebut,” tegas Yusril.
“Sebab Presiden baru tidak ikut membahas RUU tersebut. Dengan demikian, Presiden baru dapat mengembalikan RUU tersebut ke DPR untuk dibahas lagi,” tulisnya.
Tak Mendesak
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang akan dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mendesak.
“Perppu dikeluarkan karena ada kevakuman hukum. Sekarang Undang-undang Pilkada ada jadi gak ada kevakuman. SBY harus tandatangani undang-undang itu 30 hari setelah disahkan walaupun diteken atau tidak gak ngaruh, tetap berlaku,” kata Ketua Fraksi PKB DPR, Malik Haramain saat dihubungi, Selasa (30/9).
Malik sendiri mengaku bingung dengan sikap SBY yang berencana menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, hanya dalma hitungan hari rencana itu dibatalkan sendiri oleh SBY.
“Makanya, kita juga bingung. Satu-satunya cara menggagalkan Undang-undang Pilkada itu adalah MK. Kalau MK membatalkan baru ada kevakuman hukum, dan bisa keluarkan Perppu. Kalau sekarang dikeluarkan belum ada putusan MK,” jelasnya.
Lantas apa solusinya? Menanggapi pertanyaan ini, Ketua DPP PKB itu berharap Partai Demokrat yang dipimpin SBY bisa ikut mendukung judicial review UU Pilkada ke MK.
“Menurut saya SBY dan Demokrat ikut mendukung teman-teman untuk menggugat ke MK. Satu-satunya cara itu yang bisa dilakukan. Kalau SBY mengeluarkan Perppu bisa bertentangan dengan hukum, sepanjang MK belum memutuskan,” tandasnya.
Masih Harus Dikaji
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Pilkada perlu dikaji sehingga tidak serta merta dapat diberlakukan mengganti UU Pilkada yang sudah disahkan untuk dilakukan melalui perwakilan DPRD.
“Itu harus dikaji terlebih dulu, ada Putusan MK Nomor 138 Tahun 2009 yang menyatakan kalau Perppu itu menjadi subyektifitas presiden namun obyektifitasnya di DPR. Maka kajian itu yang sedang dilakukan,” kata Gamawan sebelum menghadiri rapat terbatas di Istana Negara, Selasa (30/9) malam.
Jika Perppu Pilkada tersebut diterbitkan, dia melanjutkan, masih perlu dilakukan pembahasan oleh DPR RI periode 2014-2019. Artinya, Perppu tersebut tidak serta merta langsung berlaku jika hanya ditandatangani oleh Presiden Yudhoyono.
“Itu masih harus diuji di masa sidang berikutnya oleh DPR RI. Apakah (Perppu) ini akan lolos atau tidak, itu kita lihat nanti. Tetapi kalau ada langkah-langkah lain kita akan lihat itu. Opsi itu ada banyak, bukan cuma Perppu saja,” jelasnya. (dtc/tc/jp/mtv)

Close Ads X
Close Ads X