Di Tengah Izin Tumpang Tindih, Freeport Matangkan Pembangunan Smelter Gresik

Surabaya | Jurnal Asia
Perusahaan tambang, Freeport Indonesia, mematangkan rencana pembangunan fasilitas pengolahan tembaga (smelter) berkapasitas produksi 1,8 juta ton konsentrat tembaga di Gresik. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto mengatakan fasilitas pengolahan tembaga tersebut memerlukan lahan 80 hektare. “Jaminan infrastruktur dan industri pengguna produk sampingan smelter menjadi alasan memilih Jatim khususnya Gresik,” jelasnya melalui rilis seusai bertemu Gubernur Jawa Timur, Selasa (21/10).
Berdasar catatan, smelter di Gresik tersebut memerlukan investasi US$2,3 miliar. Rozik dalam berbagai kesempatan juga mengatakan akan menggandeng PT Antam untuk pembangunan fasilitas pemurnian tersebut.
Terkait rencana pembangunan smelter di Gresik, Freeport akan segera melakukan seleksi pelaksanan rancangan dasar. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan termasuk kendala yang menyertasi rencana pembangunan akan diidentifikasi.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo berkomitmen mempermudah perizinan smelter yang akan dibangun di Gresik bagian utara ini. “Hampir 80 persen bahan baku impor terbesar adalah tembaga, karenanya kami akan mendukung penuh pembangunan smelter di Jatim,” urainya.
Gubernur yang akrab disapa Pak De ini menambahkan jajarannya menjamin proses perizinan selesai 14 hari kerja, sebagai bagian dari kemudahan. Perizinan cepat selesai bila sudah dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan.
“Kami harus mengetahui secara detail kendala yang ada dan studi kelayakan yang sudah dibuat, agar tim dari Pemprov bisa segera melakukan tindak lanjut,” urainya soal langkah lain yang bisa ditempuh terkait rencana pembangunan smelter tembaga ini.
Menurutnya bila fasilitas pemurnian tembaga tersebut berjalan maka tenaga tak terampil dari sekitar lokasi harus bisa terserap. Sedangkan tenaga kerja terampil diperkenankan dipasok dari daerah lain.
Sejauh ini, Kementerian Perindustrian mencatat secara keseluruhan kini terdapat 24 rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang atau smelter. Proyek-proyek tersebut ada yang beroperasi sejak 2013 dan 2014, tetapi sebagian besar belum beroperasi. Rencana operasi tercepat pada 2017, yang lain mulai 2018 dan 2019.
“Smelter-smelter itu sekarang ada yang sudah konstruksi, sedang groundbreaking , proyek percontohan, feasibility study, dan ada yang sudah konstruksi,” ujar Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto, Selasa (21/10).
Adapun enam rencana proyek smelter besi dan baja berkapasitas total 6,40 juta ton dengan investasi senilai US$5,62 miliar (enam proyek). Ada pula smelter tembaga dengan total kapasitas 780.000 ton bernilai US$7,5 miliar (empat proyek).
Untuk pabrik pengolahan alumina secara keseluruhan dapat memproduksi 10,40 juta ton senilai US$8,5 miliar (lima proyek). Investasi terbesar ada pada smelter nikel mencapai US$13,86 miliar (sembilan proyek), tetapi total kapasitas hanya 2,31 juta ton.
Tumpang Tindih
Di sisi lain, investor smelter kerap mengeluhkan perizinan yang dinilai tumpang tindih. Ketidaksingkronan perizinan bahkan dapat mengerdilkan minat investasi di sektor ini.
Investor yang menggali tambang menggunakan izin usaha pertambangan atau IUP. Adapun yang hanya membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) memakai izin usaha industri (IUI). Kelangsungan bisnis pemegang IUI ini kerap terkendala.
Pemegang IUI tak jarang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan bahan baku untuk smelter mereka. Pasalnya tanpa komitmen suplai dari dengan pemilik IUP, maka tidak ada jaminan para perusahaan tambang akan memasok kebutuhan mereka.
“Soal ini sejak dulu sudah diminta diselesaikan di level Menko Perekonomian tetapi yang saya dengar belum ada solusi yang pasti mengenai ini,” jelas Harjanto.
Terkait dengan pengadaan tenaga ahli lazimnya investor smelter mendatangkan dari negara asal. Sumber daya manusia yang hendak didatangkan ini terkait dengan pertambangan sehingga mereka diwajibkan pula memiliki IUP sedangkan perusahaan hanya punya IUI.
Contoh proyek smelter yang berstatus IUI adalah pabrik pengolahan besi dan baja milik PT Delta Prima Steel dan PT Meratus Jawa Iron & Steel di Kalimantan Selatan. Smelter ini memproduksi sponge iron dan beroperasi sejak 2013.
Selain merasa terbebani persoalan pembayaran royalti, Delta dan Meratus juga sulit memeroleh akses transportasi. Truk pengangkut besi dan baja perseroan dilarang melintas di jalan provinsi oleh pemerintah daerah setempat.
Oleh karena itu pelaku industri meminta pemerintah segera menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sumber Daya Industri demi memberikan kepastian bagi industri smelter. Regulasi ini bermaksud memperkuat pemberdayaan industri berbasis sumber daya alam termasuk tambang dan mineral. (bc)

Close Ads X
Close Ads X