Proses Merger Bank UMN tak Sulit

Jakarta | Jurnal Asia
Pengamat ekonomi senior Burhanuddin Abdullah menilai proses merger bank-bank BUMN tidak terlalu sulit dilakukan dan tidak memakan waktu lama, sepanjang pemerintah memiliki kejelasan mengenai arah pengembangan perbankan di masa mendatang. “Proses konsolidasi perbankan tidak memakan waktu lama, selama niatnya jelas, itu mudah dilakukan. Yang butuh proses adalah mensinkronkan berbagai kultur dan teknologi masing-masing bank. Belajar dari merger yang melahirkan Bank Mandiri, itu tidaklah terlalu sulit dan tidak butuh waktu lama,” ujar Burhanuddin di Jakarta, Kamis (30/10)
Mantan Gubernur Bank Indonesia itu mengatakan, konsolidasi perbankan tentu membutuhkan proses, namun terealisasi atau tidak serta kecepatan prosesnya tergantung kepada niatan awal pemerintah.
Menurutnya, industri perbankan nasional, terutama bank-bank BUMN, membutuhkan arah pengembangan di masa mendatang dari pemerintah, apalagi menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ia menuturkan, pemerintah harus menyelesaikan tantangan daya saing perekonomian nasional yang belum tertata dengan baik. Hal tersebut terlihat dari tingkat suku bunga kredit dan dana yang cukup tinggi di Asean.
Apalagi, menurut dia, aset perbankan Indonesia saat ini teramat rendah, yakni hanya 40 persen dari PDB, dibandingkan aset perbankan Malaysia yang telah mencapai 150 persen dan Jepang 300 persen terhadap PDB. “Survei yang pernah saya baca, 38 persen aset orang Indonesia itu ternyata disimpan di bank luar negeri. Seharusnya aset perbankan kita normalnya 80 persen dari PDB,” ujar Burhanuddin.
Untuk itu, jika pemerintah memiliki kepentingan untuk memperkuat dan membesarkan bank-bank BUMN hingga menjadi pemain utama di Asean. Pemerintah sebaiknya mengemukakan ke publik, maunya seperti apa dan mau dibawa ke mana.
Hal tersebut termasuk kenapa pemerintah harus memiliki dua bank seperti BNI dan Mandiri, yang satu sama lainnya, harus bersaing dan bukannya diarahkan untuk bersaing menghadapi bank-bank di kawasan Asean, ujarnya.
Burhanuddin menilai, aset perbankan Indonesia yang hanya berkontribusi 40 persen terhadap PDB mengindikasikan tingkat penyimpanan masyarakat dan pengusaha terhadap perbankan nasional sangat minim. “Pemerintah harus memikirkan cara agar pengusaha nasional mau menyimpan uangnya di dalam negeri,” kata Burhanduddin.
Chairman MECODEstudies Mangasa Augustinus Sipahutar mengatakan, cepat tidaknya proses konsolidasi perbankan tergantung pada target yang dibebankan pemerintah dan target waktu ini jangan diserahkan kepada direksi bank-bank.
Menurut Mangasa, konsolidasi perbankan tak sepatutnya mengalami hambatan, baik prosedur yang dianggap terlalu sulit maupun lamanya waktu, selama tidak ada politisasi. Ia juga menilai, Indonesia idealnya cukup memiliki satu bank BUMN.”Semua core bisnis perbankan itu kan sama. Tidak perlu di dikotomi. Prinsipnya kan universal banking,” kata Mangasa.
Mangasa menganjurkan agar pemerintah menyiapkan payung hukum dan.timeframe ideal untuk proses konsolidasi, yakni satu tahun.
Jika dibiarkan berlarut-larut, perbankan BUMN yang justru akan mengalami kerugian, di antaranya biaya pengeluaran gaji untuk direksi dan komisaris yang nilainya cukup besar, persaingan suku bunga antar bank BUMN hanya untuk mengejar nasabah yang sama, dan kemampuan pengucuran kredit menjadi terbatas. “Ego sektoral ini yang harus dikikis. Kalau bank BUMN sudah satu, maka akan mudah bagi bank lainnya untuk mengikuti,” ujar Mangasa.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X