Harga Minyak Mentah Turun, Harga Karet Merosot Lagi

Medan | Jurnal asia
Seiring dengan menurunnya harga minyak mentah, harga karet pun ikut turun.
Menurunnya harga karet saat ini dampaknya semakin besar terhadap penurunan produksi kebun karet Sumatera Utara.
Sekretaris Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut, Edy Irwansyah menyebutkan, harga minyak mentah jenis WTI turun USD5,13 menjadi USD68,56 per barrel untuk kontrak Januari 2015 pada perdagangan 27 Nopember pukul 19:58:20 waktu London.
Pada perdagangan pagi ini (28 Nopember, 08:30 WIB, red) SICOM-TSR20 terpantau menurun 1,5 sen AS menjadi 153 di bursa berjangka SGX.
“Menurunnya harga karet, saat ini dampaknya semakin besar terhadap penurunan produksi kebun karet.
Karena petani tidak dapat lagi mengandalkan penghasilan dari karet, banyak petani yang berlaih profesi dan bahkan menebang pohonnya. Akibatnya, produksi karet dari petani semakin berkurang,” katanya, Jumat (28/11).
Selain produksi yang terus berkurang, kata dia, harga karet ditingkat petani juga bertahan rendah. Di mana per kilogramnya hanya dikisaran Rp4.500 sampai Rp5.000 per kilogram.
“Kita terus berusaha harga karet jangan sampai jatuh pada level harga yang tidak menguntungkan bagi petani.,” ujar Edy.
Dampak lainnya, sambungnya, bagi pabrik pengolahan karet adalah kesulitan mendapatkan bahan baku. Beberapa waktu belakang ini seluruh pabrik karet Sumatera Utara telah mengurangi jam kerja, yang 3 shift menjadi 2 shift, yang 2 shift menjadi 1 shift, dan bahkan ada pabrik yang merumahkan karyawannya.
Terpisah, salah seorang petani karet di Desa Bargottopong Jae, Kecamatan Halongonan, Syamsuddin Siregar mengatakan, saat ini banyak petani karet yang mengutang karena harga karet Rp5.000 per kilogram belum berada pada titik aman. Dan harga ini masih dianggap merugikan petani.
“Kebutuhan pokok warga tidak bisa berkurang, sementara penghasilan terus berkurang karena harga karet yang merosot. Kondisi ini membuat banyak petani yang terpaksa berutang,” tandasnya.
Ia menambahkan, bahkan banyak warga yang mulai berladang kembali menanam padi. Padahal, dahulu saat harga karet mahal, mereka enggan untuk berladang.
“Yang parahnya lagi, karena tuntutan kebutuhan hidup yang makin tinggi, ada yang berusaha menjual tanah dengan harga yang tidak sesuai.
Tetapi tetap saja warga di sini (red) nga ada yang sanggup membelinya. Dan akhirnya harus kembali utang karena tanah belum laku dijual,” tuturnya. (netty)

Close Ads X
Close Ads X