Tidak sedikit orang yang kalah sebelum berperang, mereka takut melangkah untuk menghindari kegagalan yang belum tentu terwujud. Poin menarik ini tampaknya tidak berlaku dalam hidup Antarina S.F. Amir. Selaku Managing Director lembaga pendidikan High/Scope Indonesia, Antarina tidak sekalipun menyerah dalam mengembangkan bisnis yang telah dirintis sejak 1996 itu. Kendati banyak masalah menghadang, dia tetap berkeras menembusnya.
Alhasil High/Scope yang dikembangkannya dari nol kini berbuah menjadi lembaga pendidikan yang diperhitungkan di Indonesia. Dengan 10 cabang, tersebar a.l. Pondok Indah, Kuningan, Kelapa Gading di Jakarta hingga Bogor, Bandung, Denpasar, dan Medan.
Saat ini, tercatat 2.100 siswa terdaftar bersekolah di High/Scope Indonesia, ditangani 500 tenaga pengajar. Malahan High/Scope pusat yang berada di T.B. Simatupang, Jakarta Selatan memiliki 250 tenaga pengajar dengan jumlah siswa 1.500 orang.
“Banyak yang mengantre untuk bersekolah di sini, makanya saya mau mengembangkan usaha lebih besar lagi. Dalam artian memperkuat kualitas internal baru menambah jaringan di beberapa tempat, kemungkinan akan membuka baru di Surabaya setelah Rancamaya, Bogor.”
Kurikulum dan program pembelajaran High/Scope versi Amerika dikembangkannya menjadi High/Scope versi Indonesia. Dengan mencampur unsur-unsur penting sistem pendidikan Indonesia dan Amerika Serikat.
Apa yang menyebabkan Antarina berani mencampuradukkan sistem pendidikan Indonesia dan Amerika Serikat? Pendidikan Indonesia hingga saat ini dianggapnya masih mengadopsi metode tradisional, hanya memfokuskan unsur akademis.
Dalam kaca matanya, banyak pendidik Indonesia mengajarkan pelajaran searah. Pola itu membuat siswa cenderung hanya menghafal pelajaran tanpa pendalaman kuat. “Pada awalnya saya kewalahan. Sambil membuat kurikulum dan modul pembelajaran bolak-balik Indonesia-Amerika saya juga menguatkan bisnis ini.”
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang hingga kini menjadi dosen di almamaternya, mengembangkan bisnis dengan bantuan berbagai jaringan yang dimiliki. Tidak hanya teman dan konsultan, sang suami juga dimintanya membantu mengembangkan bisnis ini.
Dukungan pun membuahkan hasil. Bisnis pendidikan ini berkembang besar dengan keuntungan lebih dari Rp10 miliar per tahun. Dana yang didapatkan, diputarnya terus memperkuat kualitas SDM dan fasilitas, tak tanggung-tanggung High/Scope merogoh kocek Rp2 miliar per tahun guna membiayai penelitian dan pengembangan pendidikan.“Menjalankan High/Scope bukan hanya sebagai panggilan hidup, tapi unsur bisnisnya tetap ada. Tidak ada bisnis yang sukses tanpa dicintai pemiliknya.”
Untuk meraih keberhasilannya sekarang, ibu empat putra ini harus melewati serangkaian peristiwa getir terlebih dahulu. Pada awalnya, Antarina menggandeng tiga temannya untuk mengambil lisensi High/Scope Singapura.
Mengawali usaha, masing-masing menyetor Rp125 juta yang dipergunakan untuk membayar tempat, sumber daya manusia, dan membeli peralatan sekolah. Dengan dana relatif minim, dia dan kawan-kawan harus merelakan bekerja dengan fasilitas seadanya.
“Perlengkapan anak-anak bermain dan belajar di kelas semuanya baru. Akan tetapi untuk perlengkapan di kantor saya dan teman-teman tidak ada yang baru, malahan banyak barang rumah kami bawa ke kantor, misalnya, bangku plastik.”
Ditinggal Teman
Baginya, konflik di antara rekanan dan SDM merupakan hal yang wajar, bagian dari penyesuaian hubungan personal ke arah bisnis profesional. Tidak hanya konflik internal dalam kurun 1996-1998 yang dirasakannya, banyak pihak di luar High/Scope memandang sebelah mata bisnis yang dirintisnya.
Di tengah asyik membuka jalan bagi pengembangan High/Scope, Antarina perlahan-lahan ditinggalkan tiga temannya yang beralih ke kesibukan baru. High/Scope pun lalu dipegangnya sendirian.
“Pada awal merintis bisnis ini saya sempat stres karena saya sendirian, teman-teman sudah lepas tangan atas usaha ini. “
Setelah ditinggal tiga temannya, dia lantas meminta lisensi langsung High/Scope dari Amerika pada 1999. Permintaan dikabulkan setahun setelahnya, High/Scope pun dikembangkannya.
Pada intinya cara belajar yang dikembangkan High/Scope Indonesia adalah pembelajaran aktif (active learning). Para siswa diarahkan aktif menyerap pelajaran akademik dan pembelajaran hidup melalui kegiatan perencanaan-pelaksanaan-evaluasi (plan-do-review).
High/Scope juga mengedepankan program-program pembentukan karakter dalam tumbuh kembang anak. Siswa diarahkan aktif mengenal lingkungan dan budaya sekitar sehingga mampu menghargai, bertoleransi, dan mengenal indahnya perbedaan.
High/Scope membuka beragam kelas, mulai program prasekolah dan taman kanak-kanak untuk usia 1,5 tahun-5 tahun. Dalam kelas ini anak diajarkan membangun emosi, pengenalan lingkungan, dan berhubungan dengan orang lain.
Kelas lanjutannya adalah sekolah dasar atau biasa disebut K-5 untuk anak usia 6-12 tahun. Siswa diarahkan menjadi pemimpin, berinisiatif tinggi, dan memiliki keahlian dasar.Di kelas selanjutnya, middle school (kelas 6-9) kemampuan analitis siswa dikuatkan. Siswa dibiarkan aktif mengembangkan ide, diujicobakan, untuk kemudian dianalisa dan dipaparkan di depan umum.
Intinya penekanan pada kekuatan kemandirian dan keterbukaan pikiran, serta percaya diri dalam menghadapi segala situasi. Begitupun di high school (kelas 10-12), siswa diberi penguatan untuk bisa menganalisa potensi dan kelemahannya untuk menghadapi dunia kuliah.
Biaya pendidikan bulanan yang dipatok High/Scope untuk TK B hingga kelas 5 sebesar Rp2,65 juta. Sementara kelas 6 sampai 9 sebesar Rp2,9 juta, biaya itu di luar biaya masuk (enrollment fee) yang berkisar Rp15 juta hingga Rp70 juta tergantung masa pendidikan yang dipilih.
“Jangan dilihat High/Scope itu bagian dari kapitalis karena terkesan mahal. Tapi harus dilihat kami berjuang untuk memajukan pendidikan Indonesia, kami selalu mencetak SDM yang berkarakter kuat, tidak hanya pintar.”
(*/Bisnis Indonesia)