Rupiah Terpuruk, Pelaku UMKM Bakal Gulung Tikar

Medan | Jurnal Asia
Nasib pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kian di ujung tanduk di tengah perekonomian dunia yang belum pulih. Ditambah lagi nilai tukar rupiah terhadap mata uang US dolar berdampak terhadap pendapatan pelaku UMKM.

Ketua Forum Daerah Usaha Kecil Menengah (Forda UKM) Sumut, Lie Ho Pheng mengatakan, memasuki tahun 2015, pendapatan pelaku UMKM turun drastis per bulannya bahkan ada yang mengalami penurunan omset hingga 70 persen. Kondisi itu kini diperparah dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US dolar.

“Nilai tukar rupiah terhadap US dolar diperdagangkan mencapai level kisaran Rp13.000 lebih sehingga membuat UKM semakin terjepit. Pasalnya, beberapa bahan baku produk harus diimpor. Misalnya, produk spring bed, busanya harus diimpor dari luar negeri,” katanya, Minggu (22/3).

Meningkatnya biaya produksi pelaku UKM, menurut dia, tidak serta merta bisadiimbangi dengan menaikkan harga penjualan. “Daya beli sebelumnya cukup lemah, bagaimana kita mau menaikkan harga untuk mengimbangi biaya produksi,” kata Ho Pheng yang juga pengusaha perabot merk Lie Pin.

Selain penurunan omset per bulan mencapai 70 persen, katanya, penjualan produk juga turut anjlok. Seperti laporan dari beberapa pelaku UKM di Forda UKM Sumut yang memproduksi perabot, omset per bulan rata-rata Rp200 juta turun sebanyak 70 persen.

Menurutnya, bila kondisi ekonomi nasional terus berkelanjutan seperti sekarang ini, tidak menutup kemungkinan pelaku UKM mengalami kerugian dan akhirnya gulung tikar. Pemerintah, sambungnya, harus segera memulihkan kondisi perekonomian nasional sehingga pelaku UMKM dapat mempertahankan produk-produk mereka.

Senada dikatakan pemilik UMKM Nara Shoes, Eddy. Sejak dolar terus menguat, ia harus mengeluarkan budget lebih banyak karena bahan-bahan dasar untuk membuat sepatu yang impor dari Tiongkok seperti, kulit, tumit dan tapak (sol) harganya Rp3.000 sampai Rp5.000 per lembarnya.

“Bahan dasarnya sebenarnya bukan hanya impor dari Tiongkok tetapi juga dibeli dari Jakarta. Harga bahan dasarnya sudah naik sejak 6 bulan yang lalu secara perlahan, bukan hanya yang impor tetapi juga dari dalam negeri juga,” ucapnya.

Dengan kondisi ini, sambungnya, ia juga harus menaikkan harga sepatu yang dijualnya sekitar Rp3.000 sampai Rp4.000 sepasang. Begitupun, sepatu yang biasa diorder di Medan dan luar kota seperti, Batam, Aceh, Tebing Tinggi, Nias dan Pekan Baru sepi permintaan. “Jujur, sekarang ini sepi permintaan, omset turun sekitar 60 sampai 80 persen. Tapi nanti mendekati lebaran sekitar bulan April akan kembali ramai,” pungkasnya. (netty)

Close Ads X
Close Ads X