Jakarta – Isu perdagangan bebas masih menjadi isu sensitif bagi masyarakat. Akibatnya, pemerintah dinilai kerap terlambat dalam mengambil keputusan masuk ke pasar perdagangan tersebut.
Hal itu dinilai oleh Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal penyebab Indonesia kurang agresif dalam menekan kesepakatan dengan negara-negara tujuan ekspor utama.
“Indonesia sangat pasif bila dibandingkan dengan Vietnam yang lebih cepat dalam bekerja sama. Akibatnya, pasar ekspor Indonesia perlahan tertinggal oleh Vietnam,” jelas Fithra, Jumat (13/1).
Menurutnya, pemerintah harus lebih sinergis dalam menentukan kebijakan perdagangan bebas dengan negara-negara mitra dagang. Salah satu cara yang dapat ditempuh dengan melakukan riset terkait asas manfaat yang didapatkan dari perdagangan tersebut.
“Internal pemerintah terlihat belum satu visi. Antara satu kementerian dengan kementerian lainnya kerap berbenturan antara membuka pasar dan melindungi pasar domestik,” jelas Fithra.
Fitra juga berpendapat saat ini masyarakat harus lebih membuka diri menghadapi tantangan tersebut. Perlu ada pemahaman yang komprehensif terhadap kebijakan perdagangan bebas tersebut.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dijadwalkan akan menemui Presiden Joko Widodo pada Minggu, (15/1) di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat. Sejumlah pembicaraan terkait hubungan kedua negara khususnya dalam bidang ekonomi akan menjadi agenda utama
Selain mengunjungi Indonesia, Abe juga telah mendatangi Filipina. Kedatangan tersebut dinilai banyak pihak sebagai langkah Jepang untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara potensial yang ada di Asia Tenggara.
Fithra Faisal menilai saat ini pemerintah dan pelaku usaha perlu lebih mengoptimalkan kerja sama yang sudah berlangsung antara Indonesia dengan negara-negara mitra dagang. “Beberapa kerja sama, seperti dengan Jepang, tingkat utilitasnya baru 30%,” ujarnya.
Dia menambahkan pemerintah dapat belajar dari Jepang yang menentukan kebijakan perdagangan bebas berbasis data. Oleh karena itu, potensi kerja sama dengan suatu negara akan terlihat melalui perbandingan data tersebut.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan nilai investasi Jepang per September 2016 sebesar US$4,5 miliar. Jumlah investasi tersebut melampaui China dan Korea Selatan yang masing-masing nilai investasinya tak lebih dari US$2 miliar.
Pertumbuhan Kredit Diprediksi Lebih Baik
Pertumbuhan kredit ekspor dan impor tahun ini diperkirakan tumbuh lebih positif di tahun ini. Membaiknya pertumbuhan kredit ekspor impor tahun ini seiring dengan tren kenaikan harga komoditas.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon menyebutkan, tren pertumbuhan kredit ekspor impor sudah mulai dirasakan sejak akhir tahun 2016.
“Kredit ekspor impor sudah positif. Sudah yang tadinya negatif cukup lama sekarang sudah positif,” jelas Nelson di Gedung OJK, Jakarta Pusat, Jumat (13/1).
Kredit ekspor impor yang sempat tidak terlalu menggembirakan beberapa waktu lalu disebabkan masih rendahnya harga komoditas. Sehingga bank melakukan seleksi yang lebih ketat dalam menyalurkan kredit ekspor impor.
“Emang enggak pernah dilarang bank. Risk management keputusan mereka sendiri, kita enggak pernah larang,” tutur Nelson.
Berdasarkan data OJK hingga Oktober 2016 tercatat kredit ekspor naik sebesar 4,47 % (year on year/yoy) menjadi Rp 90,69 triliun. Sedangkan untuk kredit impor turun 20,87 % (yoy) menjadi Rp 48,9 triliun.
Selain itu, pertumbuhan kredit secara rata-rata di 2016 tercatat tumbuh mendekati 9%. Hingga November 2016, pertumbuhan kredit tercatat mendekati 6% dan mengalami peningkatan hingga akhir tahun mendekati 9%.
“2016 year to date masih sedikit di bawah 6% sampai November 2016. Desember biasanya 2-2,5%, berarti mendekati 9%,” jelas Nelson.
Kemudian, pertumbuhan kredit di tahun ini berdasarkan Rencana Bisnis Bank (RBB) tercatat berada di kisaran 9-13%. (dtf/bc)