Simalakama Penghapusan Ujian Nasional

Oleh : Satriana Sitorus SPd I
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah bulat untuk menghapuskan sistem Ujian Nasional (UN) sebagai standar penentu kelulusan siswa di Indonesia. Rencananya, penghapusan UN ini akan dimulai pada tahun 2017 mendatang. Penghapusan UN banyak mendapat dukungan dari sebagian besar kalangan pelajar dan civitas akademika di Indonesia.

Sistem UN yang selama ini dijalankan sangat rawan akan kecurangan dan justru lebih memberi tekanan kepada siswa hingga orang tua siswa. Meski banyak men­dapat dukungan, namun pe­merintah diharapkan mampu menghadirkan formulasi standar penentu kelulusan yang lebih efektif dibandingkan UN.

UN memang menjadi per­bincangan hangat setiap tahun­nya. Berbagai peristiwa dan insiden miris seputar UN terus berkesinambungan tanpa henti. Mulai dari kebocoran dan jual beli soal ujian, praktik kecurangan, siswa yang depresi hingga bu­nuh diri karena tidak lulus UN. Bahkan yang lebih parahnya lagi, anggaran percetakan lembar jawaban UN juga tidak luput dari KKN oleh oknum pejabat korup.

Wacana penghapusan UN sudah berhembus sejak bebera­pa ta­hun lalu, namun belum terealisasi hingga sekarang. Oleh karenanya pemerintah dinilai tidak konsisten karena masih menjadikan UN sebagai faktor penentu kelulusan siswa ketimbang pemetaan standar mutu pendidikan di Indonesia.

Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengala­mi ke­­suli­tan untuk memenu­hi tar­get yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.

Standar Kelayakan
Angka kelulusan siswa terus dinaikkan dari tahun ke tahun berikutnya, tidak akan menjadi persoalan jika hasil evaluasi UN diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ditindak lanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang diketahui dari hasil UN tersebut memiliki nilai kelulusan rata-rata rendah.

Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan UN secara gencar berlangsung sejak beberapa tahun terakhir ini, seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali diberlakukan secara nasional.

Mantan Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui terjadinya pro dan kontra dalam pelaksanaan UN. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah rampung, karena bukan masalah boleh ataupun tidak boleh UN dilaksanakan, tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan UN ditingkatkan. “Tujuan penyelenggaraan UN tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lagi terutama terkait penentu kelulusan atau standar nasional,” ujarnya.

Ia juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun anak didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi pendidikan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif, “tambahnya. (kompasiana.com)

Menilik sejenak pada tujuan pendidikan nasional yang tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bangsa yang cerdas direpresentasikan melalui profil warga negara yang cerdas. Warga negara yang cerdas merupakan pribadi yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga mencerminkan nilai-nilai yang terdapat dalam dasar negara Indonesia.

Polemik
Masalah pendidikan me­mang masalah pelik, dan tidak semua orang bisa memahaminya dengan cara-cara yang bijaksana. Menurut penulis UN hanya melatih siswa menjawab soal pilihan berganda dan semua soal UN itu bisa di drill dengan latihan-latihan soal terus menerus. Bagi mereka yang memiliki uang banyak merasa tidak ada kesulitan dalam memberikan materi tambahan, tetapi bagi mereka yang tidak punya uang, maka harus belajar ekstra keras berlatih soal-soal.

Untuk bisa mengerjakan latihan soal UN, mereka (pelajar) tidak perlu sekolah, cukup masuk bimbingan belajar (bimbel) selama beberapa bulan, dijamin mereka pasti lulus. Bila tidak lulus janji mereka uang kembali 100 %. Sungguh sangat memprihatinkan UN tidaklah cocok untuk dijadikan penentu kelulusan siswa. Sebab, masih banyak ukuran kelulusan yang bisa dilakukan.

Pertanyaan yang boleh diajukan adalah perlukah UN dilakukan untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan? Padahal guru dan sekolah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam proses pembelajaran pun sudah melakukan penilaian yang menurut hemat penulis sudah sangat representatif untuk mengetahui kompetensi siswa, bahkan hasilnya lebih valid dalam menggambarkan pencapaian belajar siswa karena dilakukan secara berkesinambungan dan disesuaikan dengan kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran siswa.

Permasalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan UN adalah banyaknya praktek kecurangan, mulai dari joki jawaban ujian sampai dengan mark-up nilai ujian nasional. Tuntutan nilai ketuntasan minimum yang semakin tinggi adalah salah satu indikasi penyebab praktek kecurangan dalam UN.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 66 menyebutkan bahwa UN adalah salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah, bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian hasil belajar di perguruan tinggi, yang proses penilaiannya hanya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (perguruan tinggi) yang bersangkutan.

Jika pada perguruan tinggi saja penilaian bisa dilakukan oleh dosen dan perguruan tinggi yang bersangkutan saja, maka tidak akan ada masalah jika saja UN dihapuskan, karena pada tingkat perguruan tinggi pun penilaian yang dilakukan oleh pendidik dan perguruan tinggi yang bersangkutan sudah representatif untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan.***
*) Penulis adalah Alumni Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, bekerja sebagai guru Pesantren Al-Ihsan di Labura

Close Ads X
Close Ads X