Bagaimana kehidupan masyarakat Batak masa lalu? Datanglah ke Sopo Guru Tatea Bulan atau Rumah Guru Tatea Bulan serta perkampungan Siraja Batak yang terletak di Dusun Arsam Kecamatan Sianjur Mula-mula berjarak 13 Km dari Pangururan.
Di tempat Sopo Guru Tatea Bulan kita akan menemukan patung-patung Siraja Batak dengan keturunannya. Bukan hanya patung orang saja yang dapat kita lihat tetapi juga patung-patung penjaga rumah seperti gajah, macan dan kuda. Bentuk rumah ini pun didesain dengan ciri khas rumah Batak. Bila kita hendak masuk ke dalam kita harus membuka alas kaki. Kita dapat melihat dengan seksama di Sopo Guru Tatea Bulan patung-patung keturunan Siraja Batak, seperti patung Seribu Raja sepasang dengan istrinya, patung keturunan Limbong Mulana, patung Segala Raja serta Patung Silau Raja.
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Batak marga-marga yang ada sekarang ini berasal dari keturunan Siraja Batak. Rumah-rumah ini telah diresmikan oleh Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tate Bulan pada tahun 1995 yang lalu. Di sana kita juga akan dipandu oleh pemandu yang akan menerangkan cerita dari patung-patung si Raja Batak dengan keturunannya.
Umumnya orang Batak percaya kalau Siraja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit, sebuah bekas gunung vulkanis dekat Pangururan. Siraja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula. Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama.
Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Di desa ini terdapat cagar budaya berupa miniatur Rumah Si Raja Batak. Sebutan Raja Batak ternyata dahulu bukan karena posisinya sebagai Raja dan memiliki daerah pemerintahan, melainkan lebih pada penghormatan terhadap nenek moyang Suku Batak.
Di perkampungan ini, ada bangunan rumah semi tradisional Batak, yang merupakan rumah panggung terbuat dari kayu, tanpa paku, dilengkapi tangga, dan atap seng. Lokasi perkampungan ini berada di perbukitan di atasnya dalam jarak yang tidak terlalu jauh dan kurang lebih 500 meter.
Masih di Batu Sawan berlokasi di Kecamatan Sianjur Mula-mula juga terdapat tempat bernama Batu Sawan yang lokasinya sekira 3 km dari pinggir jalan raya atau 12 Km dari Pangururan.
Batu Cawan (batu sawan) yang terdapat disisi kaki pegunungan Pusuk Buhit adalah salah satu objek budaya Batak yang dianggap suci. Dianggap suci karena menurut sejarah, tempat inilah orang Batak percaya bahwa Raja Uti tinggal. Dimana diyakini bahwa dulunya raja-raja yang tinggal di daerah Pusuk Buhit menjadikan tempat pemandian yang suci.
Ada keunikan dari tempat ini, dimana terbukti air yang mengalir sampai batu cawan (batu sawan) memiliki rasa. Tidak seperti air biasa, air di batu cawan rasanya seperti air yang diberi perasanjeruk purut dan kecut-kecut serta segar alami. Batu Cawan dipercaya airnya dapat menyembuhkan penyakit.
Orang Batak yang tinggal di daerah itu menyebutnya sebagai air berkah. Tempat ini menjadi salah satu tujuan orangBatak melaksanakan riutal.Yang jelas tempat ini mulai ramai dikunjungi sebagai tempat mengadakan acara ritual, baik yang berasal dari masyarakat sekitar, lokal bahkan dari luar negeri untuk berziarah. (Ant)
Museum Huta Bolon Simanindo
Kabupaten Samosir dikenal memiliki objek wisata sejarah dan budaya yang sangat kaya dengan beragam peninggalan yang masih cukup terawat. Salah satu kekayaan budaya Samosir bisa dinikmati di Museum Huta Bolon Simanindo. Museum ini merupakan rumah adat warisan Raja Sidauruk. Tapi Sejak 1969 bangunan ini dijadikan museum terbuka dan dikelola keturunan Sidauruk yang beralamat di Desa Simanindo (berjarak 10 km dari Tomok dan 25 km dari Pangururan). Museum ini buka setiap hari dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore.
Museum ini terdiri atas sejumlah rumah adat dengan Huta Bolon Simanindo sebagai master piece-nya. Koleksinya berupa peninggalan leluhur orang Batak Toba Di museum inilah tempat asal usul orang Batak berada, dari mulai benda peninggalan sejarah, peta keturunan Raja Batak, parhalaan, pustaha laklak, tunggal panaluan pernak pernik bahkan perahu (Solu Bolon) yang digunakan sang raja pun tersimpan disini. (Ant)
Aek Sipitu Dai
Masih seputar air yang diyakini bisa membawa kesembuhan, di Samosir juga terdepat Aek sipitu dai terletak di Desa Aek Sipitu Dai, Limbong Kecamatan Sianjur Mula-mula berjarak sekitar 10 Km dari Pangururan. Aek Sipitu Dai adalah tujuh buah pancuran yang masing-masingnya memiliki rasa yang berbeda-beda.
Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa) adalah satu air dengan tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.
Ketujuh pancuran ini dibagi menurut status masyarakat yaitu : Pansuran ni Dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya, Pancuran ni Sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi,Pansuran ni Ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan, Pansur ni Namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis, Pansur ni Pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja, Pansur ni Doli yaitu tempat mandi para lelak dan Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong. (Ant)
Batu Persidangan Raja Siallagan
Batu Persidangan (Siallagan Court Stone) dan Batu Parhapuran merupakan salah satu warisan budaya di Kabupaten Samosir yang banyak menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara.
Objek wisata sejarah ini terdapat di huta Sialagan, dikelilingi tembok batu setinggi 1,5 m. Berada di pinggiran Danau Toba, 1 km dari Ambarita Ibu kota Kecamatan Simanindo atau 35 Km dari Pangururan. Merupakan tempat bersejarah, tempat Raja Siallagan zaman dahulu mengadili para penjahat.
Disebut Batu persidangan karena terdiri dari banyak kursi yang terbuat dari batu- batu besar. Di sudut kampung/huta terdapat patung kuno yang menunjukkan kebesaran kerajaan Sialagan. Didalam huta ini terdapat rumah adat Batak kuno dan museum peralatan rumah tangga zaman dulu.
Tempat persidangan terdapat di depan rumah Raja Siallagan. Di situ terdapat kursi-kursi dari batu pahat untuk tempat duduk Raja Siallagan dengan sandaran yang lebih tinggi, tempat duduk untuk Raja Bius dan Raja Sekitar sebagai penimbang perkara, tempat duduk untuk Tertuduh atau Tersangka, tempat duduk untuk Ahli Hukum Kerajaan.
Disekitar lokasi juga ada Tempat Tahanan yang berada di kolong rumah Raja. Sel tersebut dijaga oleh penjaga sel dan juga kekuatan gaib, agar tahanan tidak bisa melarikan diri atau menggunakan kekuatan gaib dari luar untuk melepaskannya.
Di samping kursi persidangan di depan rumah Raja Siallagan tumbuh sebatang pohon sejenis pohon Nabar. Pohon ini disebut sebagai pohon kebenaran, karena semua keputusan pengadilan yang diambil raja disampaikan atau disumpahkan ke pohon ini, agar pohon memberi tanda apakah keputusan Raja adil atau tidak adil. Pertanda yang diberikan pohon bisa bermacam-macam, antara lain dahannya patah, daunnya gugur, atau ada bagian dahan yang mati.
Jika tanda-tanda itu ada, itu berarti bahwa vonis yang ditetapkan ada kekeliruan. Untuk itu, Raja akan melakukan persidangan ulang guna mencari kebenaran dan keadilan setinggi-tingginya. (Ant)
Ni Ura, Sushi ala Samosir
Sushi adalah menu yang sudah terkenal. Masakan yang berasal dari Jepang ini disajikan dengan bahan-bahan yang segar dan mentah. Makanan jenis ini juga terdapat di Indonesia, tepatnya di Pulau Samosir, pulau di tengah Danau Toba ini memiliki rumah makan dengan menu salah satu kuliner khas Sumatera Utara bernama Na Niura.
Luker Sidabutar, merupakan pemilik rumah makan terkenal di Pulau Samosir tersebut mengatakan bahwa Na Niura adalah sushi ala Batak. Olahan kuliner khas Sumatera Utara ini dari bahan daging ikan yang segar dan tidak dimasak.
Hidangan seperti sushi ini berbahan dasar dari ikan mas yang dicampur dengan beragam bumbu. Nama menu ini sendiri berarti rujak atau lebih disebut ikan rujak, karena menggunakan bumbu ikan seperti bumbu rujak. Bumbu pada ikan, seperti asam jungga atau sama dengan jeruk purut. Ada juga kunyit, andaliman, bawang merah, jahe dan kemiri.
Dalam mengolah makanan ini, ikan terlebih dahulu direndam sekitar 6 jam dan menggunakan bumbu yakni rempah-rempah tersebut. ” Ikan tidak perlu dipanggang, atau digoreng. Hanya perlu didiamkan saja dengan bumbu tersebut selama enam jam, ” ucap Luker.
Daging ikan akan berwarna oranye segar. Hidangan ini disajikan dengan potongan daging dengan duri ikan yang sudah dipisahkan. Rasanya akan terasa dari bumbu rempah yang menyerap dengan empuknya daging ikan. Mirip dengan cita rasa dari makanan Jepang sushi yang disajikan di restoran-restoran Jepang.
Rumah makan yang diberi nama Sekapur Sirih berada di Kecamatan Tuk Tuk, kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Berada tepat di Pulau yang menjadi salah satu wisata di Sumatera Utara ini, rumah makan Sekapur Sirih selain menyajikan makanan yang lezat juga dengan pemandangan indah Danau Toba.
Rumah makannya berada di dataran tinggi. Dari sana akan terlihat pesona air danau yang tenang dan awan yang terlihat dari perbukitan di seberang danau. Banyak para wisatawan yang berkunjung kesana baik dalam negeri maupun luar negeri. Harga kuliner khas Sumatera Utara ini sesuai per gram ikan sebesar Rp 15.000. Satu ekor ikan untuk Na Niura ini disajikan dengan berat sekitar 400-500 gram. (int)